Kamis, 19 Maret 2015

ASKEP BPH



LAPORAN PENDAHULUAN
BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI (BPH)
A.    Pengertian
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali, Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar psostat.
B.     Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1.      Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2.      Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3.      Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4.      Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).
C.    Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).
D.    Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1.      Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2.      Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3.      Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
a.       Hemorogi
1)      Hematuri
2)      Peningkatan nadi
3)      Tekanan darah menurun
4)      Gelisah
5)      Kulit lembab
6)      Temperatur dingin
b.      Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
c.       Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
1)      bingung
2)      agitasi
3)      kulit lembab
4)      anoreksia
5)      mual
6)      muntah
d.      warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2.      Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
3.      Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a.       Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b.      Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).
F.     Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1.      Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2.      Terapi medikamentosa
a.       Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b.      Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c.       Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3.      Terapi bedah
a.       TURP
b.      TUIP
c.       Prostatektomi terbuka
4.      Terapi invasif minimal
a.       TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b.      Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c.       High Intensity Focus Ultrasound
d.      Ablasi jarum trans uretra
e.       Stent Prostat




















KONSEP DASAR KEPERAWATAN
BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI (BPH)
A.    Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
1.      Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
2.      Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
3.      Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
a.       pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
b.      penggunaan alat-alat bantu
c.       penggunaan obat-obatan.
4.      Pola Aktivitas
a.       pola aktivitas, latihan dan rekreasi
b.      pembatasan gerak
c.       alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
5.      Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
a.       Pola tidur dan istirahat
b.      Persepsi, kualitas, kuantitas
c.       Penggunaan obat-obatan.
6.      Pola Kognitif – Perseptual
a.       Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
b.      Kemampuan bahasa
c.       Kemampuan membuat keputusan
d.      Ingatan
e.       Ketidaknyamanan dan kenyamanan
7.      Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
a.       Body image
b.      Identitas diri
c.       Harga diri
d.      Peran diri
e.       Ideal diri. 
8.      Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
a.       Pola hubungan keluarga dan masyarakat
b.      Masalah keluarga dan masyarakat
c.       Peran tanggung jawab.
9.      Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
a.       Penyebab stress
b.      Kemampuan mengendalikan stress
c.       Pengetahuan tentang toleransi stress
d.      Tingkat toleransi stress
e.       Strategi menghadapi stress.
10.  Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
a.       Masalah seksual
b.      Pendidikan seksual.
11.  Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
a.       Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
b.      Realisasi dalam kesehariannya.





B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Sebelum Operasi
a.       Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
Tujuan  : tidak terjadi obstruksi
Kriteria hasil : Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Rencana tindakan dan rasional
1.      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
      R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2.      Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
      R /  Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3.      Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam  saluran perkemihan  yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4.      Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5.      Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
b.      Nyeri  ( akut )  berhubungan  dengan  iritasi  mukosa  buli –   buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
Tujuan : Nyeri  hilang  /  terkontrol.
Kriteria  hasil : Klien  melaporkan  nyeri  hilang  /  terkontrol,  menunjukkan  ketrampilan  relaksasi  dan   aktivitas  terapeutik  sesuai  indikasi  untuk  situasi  individu.  Tampak rileks,  tidur  /  istirahat  dengan  tepat.
Rencana tindakan  dan  rasional
1.      Kaji nyeri,  perhatikan  lokasi,  intensitas  ( skala  0 - 10 ).
R / Nyeri  tajam,  intermitten  dengan  dorongan  berkemih  /  masase  urin  sekitar  kateter  menunjukkan  spasme  buli-buli,  yang  cenderung  lebih berat  pada  pendekatan  TURP  ( biasanya  menurun  dalam  48 jam ).
2.      Pertahankan patensi  kateter  dan  sistem  drainase.  Pertahankan   selang  bebas  dari  lekukan  dan  bekuan.
R/ Mempertahankan  fungsi  kateter  dan  drainase  sistem,  menurunkan  resiko  distensi  /  spasme  buli - buli.
3.      Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
4.      Berikan  tindakan  kenyamanan  ( sentuhan  terapeutik,      pengubahan  posisi,  pijatan  punggung )  dan aktivitas  terapeutik. 
R /   Menurunkan  tegangan  otot,  memfokusksn  kembali  perhatian dan  dapat  meningkatkan  kemampuan  koping.
5.      Berikan  rendam  duduk  atau  lampu  penghangat  bila  diindikasikan.
R/ Meningkatkan   perfusi  jaringan  dan  perbaikan  edema  serta   meningkatkan  penyembuhan         ( pendekatan  perineal ).
6.      Kolaborasi  dalam pemberian  antispasmodik
R / Menghilangkan  spasme
c.       Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan  hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda  vital  stabil,  nadi  perifer  teraba,  pengisian perifer baik,  membran   mukosa  lembab  dan   keluaran  urin  tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1.      Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/  Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan  jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
2.      Pantau  masukan  dan  haluaran  cairan.
R/  Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3.      Awasi  tanda-tanda  vital,  perhatikan  peningkatan  nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/  Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
4.      Tingkatkan tirah baring  dengan kepala lebih tinggi
R/  Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
5.      Kolaborasi  dalam  memantau  pemeriksaan  laboratorium  sesuai  indikasi,  contoh: Hb / Ht,  jumlah  sel  darah  merah. Pemeriksaan  koagulasi,  jumlah  trombosi
R/        Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan  penggantian. Serta dapat  mengindikasikan  terjadinya  komplikasi misalnya  penurunan  faktor  pembekuan  darah,
d.      Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil : Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Rencana  tindakan  dan  rasional
1.      Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/   Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2.      Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.  
R /  Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3.      Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
e.       Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
Kriteria  hasil : Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana   tindakan   dan   rasional
1.      Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R /  Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2.      Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2.    Sesudah operasi
a.       Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
1.      Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
2.      Ekspresi wajah klien tenang.
3.      Klien akan menunjukkan ketrampilan  relaksasi.
4.      Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5.      Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1.      Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2.      Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus  sehingga obat – obatan bisa   diberikan
3.      Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.      Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5.      Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.      Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7.      Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8.      Observasi tanda – tanda vital
R/  Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah  spasmus kandung kemih.
  1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .


Kriteria hasil:
1.      Klien tidak mengalami infeksi.
2.      Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3.      Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.      Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2.      Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.      Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.      Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5.      Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
c.       Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
1.      Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
2.      Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3.      Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1.         Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui  tanda – tanda perdarahan
2.      Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/  Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih

3.      Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk   memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4.         Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5.      Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi  dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6.      Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan  warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
d.      Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1.      Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
2.      Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
3.      Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
4.      Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1.      Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2.      Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan  kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3.      Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4.      Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi  kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
e.       Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan
Kriteria hasil:
1.      Klien akan melakukan perubahan perilaku.
2.      Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
3.      Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1.          Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2.          Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6  minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3.          Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4.          Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5.          Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
f.       Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
1.      Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
2.      Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
3.      Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1.      Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2.      Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4.      Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .


























DAFTAR PUSTAKA
Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M  and  Alice, C.G., 2000. Rencana  Asuhan  Keperawatan :  Pedoman  Untuk  Perencanaan  Dan  Pendokumentasian  Perawatan  Pasien. Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Kumpulan Kuliah, 2010, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Cirebon.
Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ; Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar