LAPORAN PENDAHULUAN
BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI
(BPH)
A.
Pengertian
Benigna prostat hipertropi adalah
hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani &
Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling
umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk
intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50
tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran
urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat
prostata (Ramali, Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan
di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar
psostat.
B.
Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat
faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1.
Adanya perubahan keseimbangan
antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2.
Peranan dari growth faktor sebagai
pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3.
Meningkatnya lama hidup sel-sel
prostat karena berkurangnya sel yang mati
4.
Teori sel steam menerangkan bahwa
terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma
dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).
C.
Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan
keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi
Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya
penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA
sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi
hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra
vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini
jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan
akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).
D.
Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan
keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1.
Keluhan pada saluran kemih bagian
bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower
Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala
obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi)
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak,
rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang
memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena
overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan
saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang
secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2.
Gejala pada saluran kemih bagian
atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat
pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang
selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan
darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3.
Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh
adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada
pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
a.
Hemorogi
1)
Hematuri
2)
Peningkatan nadi
3)
Tekanan darah menurun
4)
Gelisah
5)
Kulit lembab
6)
Temperatur dingin
b.
Tidak mampu berkemih setelah
kateter diangkat
c.
Gejala-gejala intoksikasi air
secara dini:
1)
bingung
2)
agitasi
3)
kulit lembab
4)
anoreksia
5)
mual
6)
muntah
d.
warna urin merah cerah, pada hari
ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
E.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik
urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA)
dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan.
2.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto
polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan
pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari
pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter.
3.
Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok
Dubur
a.
Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur
pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh
kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b.
Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi
prostat (biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah
batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).
F.
Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1.
Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan
ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi
dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2.
Terapi medikamentosa
a.
Penghambat adrenergic alfa,
contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b.
Penghambat enzim 5 alfa reduktasi,
contoh: firasterid (proscar).
c.
Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain:
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa
repelus.
3.
Terapi bedah
a.
TURP
b.
TUIP
c.
Prostatektomi terbuka
4.
Terapi invasif minimal
a.
TUMT (Trans Urethral Micro web
Thermotherapy)
b.
Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c.
High Intensity Focus Ultrasound
d.
Ablasi jarum trans uretra
e.
Stent Prostat
KONSEP
DASAR KEPERAWATAN
BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI
(BPH)
A. Pengkajian
Dalam melakukan
pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11
pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat
hipertrophy.
1.
Pola persepsi kesehatan dan
management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana
memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan
riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang
serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
2.
Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik
dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan
makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut,
kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
3.
Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
a.
pola defekasi (warna, kuantitas,
dll)
b.
penggunaan alat-alat bantu
c.
penggunaan obat-obatan.
4.
Pola Aktivitas
a.
pola aktivitas, latihan dan
rekreasi
b.
pembatasan gerak
c.
alat bantu yang dipakai, posisi
tubuhnya.
5.
Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
a.
Pola tidur dan istirahat
b.
Persepsi, kualitas, kuantitas
c.
Penggunaan obat-obatan.
6.
Pola Kognitif – Perseptual
a.
Penghilatan, pendengaran, rasa,
bau, sentuhan
b.
Kemampuan bahasa
c.
Kemampuan membuat keputusan
d.
Ingatan
e.
Ketidaknyamanan dan kenyamanan
7.
Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
a.
Body image
b.
Identitas diri
c.
Harga diri
d.
Peran diri
e.
Ideal diri.
8.
Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
a.
Pola hubungan keluarga dan
masyarakat
b.
Masalah keluarga dan masyarakat
c.
Peran tanggung jawab.
9.
Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
a.
Penyebab stress
b.
Kemampuan mengendalikan stress
c.
Pengetahuan tentang toleransi
stress
d.
Tingkat toleransi stress
e.
Strategi menghadapi stress.
10. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
a.
Masalah seksual
b.
Pendidikan seksual.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
a.
Perkembangan moral, perilaku dan
keyakinan
b.
Realisasi dalam kesehariannya.
B.
Diagnosa
Keperawatan
1. Sebelum Operasi
a.
Obstruksi
akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
Tujuan : tidak terjadi obstruksi
Kriteria
hasil : Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Rencana
tindakan dan rasional
1.
Dorong pasien untuk berkemih tiap
2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan
retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2.
Observasi aliran urina perhatian
ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan
intervensi
3.
Awasi dan catat waktu serta jumlah
setiap kali berkemih
R/
Retensi urine meningkatkan tekanan dalam
saluran perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal
4.
Berikan cairan sampai 3000 ml
sehari dalam toleransi jantung.
R /
Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan
ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5.
Berikan obat sesuai indikasi (
antispamodik)
R/
mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
b.
Nyeri ( akut )
berhubungan dengan iritasi
mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal,
infeksi urinaria.
Tujuan : Nyeri
hilang / terkontrol.
Kriteria hasil : Klien
melaporkan nyeri hilang
/ terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan
aktivitas terapeutik sesuai
indikasi untuk situasi
individu. Tampak rileks, tidur
/ istirahat dengan
tepat.
Rencana tindakan dan
rasional
1.
Kaji nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas ( skala
0 - 10 ).
R /
Nyeri tajam, intermitten
dengan dorongan berkemih
/ masase urin
sekitar kateter menunjukkan
spasme buli-buli, yang
cenderung lebih berat pada
pendekatan TURP ( biasanya
menurun dalam 48 jam ).
2. Pertahankan patensi kateter dan
sistem drainase. Pertahankan
selang bebas dari
lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi
kateter dan drainase
sistem, menurunkan resiko
distensi / spasme
buli - buli.
3.
Pertahankan tirah baring bila
diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase
akut.
4.
Berikan tindakan
kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi,
pijatan punggung ) dan aktivitas
terapeutik.
R /
Menurunkan tegangan otot,
memfokusksn kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan
koping.
5.
Berikan rendam
duduk atau lampu
penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi
jaringan dan perbaikan
edema serta meningkatkan
penyembuhan (
pendekatan perineal ).
6. Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c.
Resiko
tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda
-tanda vital stabil,
nadi perifer teraba,
pengisian perifer baik,
membran mukosa lembab
dan keluaran urin
tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1.
Awasi keluaran tiap jam bila
diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan
volume total karena ketidakl cukupan
jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
2.
Pantau masukan
dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan
penggantian.
3.
Awasi tanda-tanda
vital, perhatikan peningkatan
nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
4.
Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung
memudahkan hemeostatis sirkulasi.
5.
Kolaborasi dalam
memantau pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah
sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi,
jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah /
kebutuhan penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi misalnya
penurunan faktor pembekuan
darah,
d.
Ansietas
berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil : Menyatakan pengetahuan
yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang
perasaan dan penurunan rasa takut.
Rencana
tindakan dan rasional
1.
Dampingi klien dan bina hubungan
saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk
membantu
2.
Memberikan informasi tentang
prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R
/ Membantu pasien dalam memahami tujuan
dari suatu tindakan.
3.
Dorong pasien atau orang terdekat
untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/
Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses
penyakit dan prognosisnya.
Kriteria
hasil : Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi
dalam program pengobatan.
Rencana
tindakan dan rasional
1.
Dorong pasien menyatakan rasa
takut persaan dan perhatian.
R /
Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2.
Kaji ulang proses
penyakit,pengalaman pasien
R/
Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi
terapi.
2.
Sesudah operasi
a.
Nyeri
berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan:
Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria
hasil :
1.
Klien mengatakan nyeri berkurang /
hilang.
2.
Ekspresi wajah klien tenang.
3.
Klien akan menunjukkan
ketrampilan relaksasi.
4.
Klien akan tidur / istirahat
dengan tepat.
5.
Tanda – tanda vital dalam batas
normal.
Rencana tindakan :
1.
Jelaskan pada klien tentang gejala
dini spasmus kandung kemih.
R/
Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2.
Pemantauan klien pada interval
yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus
kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3.
Jelaskan pada klien bahwa
intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/
Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.
Beri penyuluhan pada klien agar
tidak berkemih ke seputar kateter.
R/
Mengurang kemungkinan spasmus.
5.
Anjurkan pada klien untuk tidak
duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.
Ajarkan penggunaan teknik
relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot,
memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7.
Jagalah selang drainase urine
tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih.
Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh
bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8.
Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.
Kolaborasi dengan dokter untuk
memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R /
Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus
kandung kemih.
- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan:
Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria
hasil:
1.
Klien tidak mengalami infeksi.
2.
Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3.
Tanda – tanda vital dalam batas
normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.
Pertahankan sistem kateter steril,
berikan perawatan kateter dengan steril.
R/
Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2.
Anjurkan intake cairan yang cukup
( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga
resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.
Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/
Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.
Observasi tanda – tanda vital,
laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5.
Observasi urine: warna, jumlah,
bau.
R/
Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.
Kolaborasi dengan dokter untuk
memberi obat antibiotik.
R/
Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
c.
Resiko
tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
1.
Klien tidak menunjukkan tanda –
tanda perdarahan .
2.
Tanda – tanda vital dalam batas
normal .
3.
Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1.
Jelaskan pada klien tentang sebab
terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/
Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui
tanda – tanda perdarahan
2.
Irigasi aliran kateter jika
terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/
Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih
3.
Sediakan diet makanan tinggi serat
dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi .
R/
Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan
perdarahan .
4.
Mencegah pemakaian termometer
rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu
.
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat
.
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan
traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik,
menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6.
Observasi: Tanda – tanda vital
tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan
warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan
intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1.
Klien tampak rileks dan melaporkan
kecemasan menurun .
2.
Klien menyatakan pemahaman situasi
individual .
3.
Klien menunjukkan keterampilan
pemecahan masalah .
4.
Klien mengerti tentang pengaruh
TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1.
Beri kesempatan pada klien untuk
memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk
mengetahui masalah klien .
2.
Jelaskan tentang : kemungkinan
kembali ketingkat tinggi seperti semula dan
kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/
Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3.
Mencegah hubungan seksual 3-4
minggu setelah operasi .
R/ Bisa
terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4.
Dorong klien untuk menanyakan
kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R /
Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan
memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
e.
Kurang
pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan
kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan
Kriteria hasil:
1.
Klien akan melakukan perubahan
perilaku.
2.
Klien berpartisipasi dalam program
pengobatan.
3.
Klien akan mengatakan pemahaman
pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana
tindakan:
1.
Beri penjelasan untuk mencegah
aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2.
Beri penjelasan untuk mencegah
mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu;
dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/
Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan
mengedan pada waktu BAB
3.
Pemasukan cairan
sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi
potensial infeksi dan gumpalan darah .
4.
Anjurkan untuk berobat lanjutan pada
dokter.
R/. Untuk
menjamin tidak ada komplikasi .
5.
Kosongkan kandung kemih apabila
kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk
membantu proses penyembuhan .
f.
Gangguan
pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan:
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria
hasil:
1.
Klien mampu beristirahat / tidur
dalam waktu yang cukup.
2.
Klien mengungkapan sudah bisa
tidur .
3.
Klien mampu menjelaskan faktor
penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1.
Jelaskan pada klien dan keluarga
penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/
meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
.
2.
Ciptakan suasana yang mendukung,
suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/
Suasana tenang akan mendukung istirahat
3.
Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi
gangguan
4.
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa
istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA
Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi,
Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8.
EGC: Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M
and Alice, C.G., 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC:
Jakarta.
Kumpulan Kuliah, 2010, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan, Cirebon.
Schwartz, dkk, 2000, Intisari
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ; Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar